Kamis, 24 Januari 2008

Tragis, Nasib Calon Independen

Nasib calon independen (perorangan) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sangat mengenaskan. Mati tidak, hidup pun tak mau.
Telah lebih dari enam bulan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan -sekaligus memerintah agar pemerintah dan tentu saja DPR merevisi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah- bahwa calon independen boleh bersaing dengan calon-calon yang menggunakan kendaraan partai politik (parpol) dalam pilkada.
Kenyataannya, DPR tetap saja sarat dengan dalih dan seribu argumentasi untuk belum sepenuhnya menyentuh UU No 32/2004 agar calon independen masuk dalam salah satu pasalnya.
Ketika kali pertama pemerintah (Depdagri) menyodorkan draf revisi UU No 32/2004 menyangkut calon independen, wakil-wakil rakyat di komisi II berjanji menyelesaikan pembahasan revisi itu akhir Desember 2007. Namun, sampai Januari ini, belum ada indikasi kuat bahwa pembahasan revisi segera dilakukan.
Alasan teknis mungkin saja dihadapi anggota DPR dan pemerintah yang mengakibatkan pembahasan revisi molor tanpa rasa malu kepada masyarakat.
Tapi, sungguh disayangkan, misalnya, jika di antara masalah teknis yang memolorkan revisi ada niat lain yang bermotif politik. Kabarnya, dewan memang enggan merevisi UU No 32/2004 karena khawatir calon kepala daerah yang berangkat lewat parpol tidak mulus.


Selengkapnya Click>>http://rakyatlampung.com/

Siapa Suruh Jadi KPU

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary mengeluhkan bahwa beban yang harus mereka pikul saat ini begitu berat. Sementara, uang kehormatan dan honorarium yang diterima tidak begitu seberapa. Karena itu, KPU mengusulkan agar ada tambahan tunjangan khusus (insentif) yang memadai.
Keluhan ketua KPU itu sungguh menggelikan dan menyedihkan. Menggelikan karena terkesan mereka begitu cengeng. Rasanya sangat lucu bila mereka yang dulu berebut menjadi anggota KPU, kini mengeluh karena kebanyakan beban.
Siapa yang dulu menyuruh menjadi anggota KPU? Kalau tidak siap menghadapi kerja yang menumpuk, ya lebih baik jangan menjadi anggota KPU. Tentu bukan hal baru bila dikatakan mengurusi pemilu bukanlah hal gampang.
Segudang persoalan menumpuk di sana. Dari penyiapan logistik, verifikasi peserta pemilu, hingga menghadapi sengketa pemilu. Semua itu tentu membutuhkan tenaga dan perhatian ekstra. Belum lagi, resiko lain yang terkait dengan keselamatan diri yang setiap saat bisa datang.
Lalu, mengapa menyedihkan? Karena, ada kesan kuat bahwa kita ini memang sudah sangat materialistik. Apa yang kita kerjakan selalu diukur dengan nominal uang. Jiwa pengorbanan dan pengabdian kepada negara seakan sudah lenyap tertutup oleh kepentingan materi.

Selengkapnya Click>>http://rakyatlampung.com/ halaman Opini

Mungkinkah Guru SD Bidang Studi?

Oleh: Herpratiwi
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang dilakukan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru yang belum lulus dalam penilaian portofolio dan untuk menentukan kelulusan peserta sertifikasi guru dalam jabatan yang belum lulus dalam penilaian portofolio.
PLPG yang dilakukan saat ini merupakan putaran ketiga, yang berlangsung dari tanggal 14 Januari s.d. 23 Januari 2008. Peserta PLPG mayoritas sudah ”sepuh”, sehingga pembelajaran berlangsung secara demokratis, lebih menekankan sharing pengalaman, dan menggunakan pendekatan adragogi.
Salah satu hasil dari sharing pengalaman adalah guru Sekolah Dasar (SD) akan dapat bekerja dengan profesional jika tidak berperan sebagai guru kelas, tetapi guru bidang studi. Mengapa? Pertama, Menurut PP. 19 Tahun 2005, seorang guru dikatakan profesional jika memiliki 4 kompetensi yaitu kompetensi pribadi, sosial, profesional dan pedagogi. Seorang guru harus memiliki sikap kepribadian yang mantap atau matang sehingga mampu berfungsi sebagai tokoh identitas bagi siswa serta dapat menjadi panutan bagi siswa dan masyarakat, memiliki pengetahuan yang luas dalam mata pelajaran yang diajarkannya, menguasai metodologi pembelajaran baik teoretik maupun praktik, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien dengan siswa, sesama guru, orang tua dan masyarakat, serta memiliki kemampuan untuk mengolah pembelajaran, mendidik serta membentuk perubahan perilaku siswa. Artinya, bahwa guru SD sangat sulit untuk menunjukkan kompetensi profesional, jika mereka masih menjadi guru kelas.


Selengkapnya Click>>http://rakyatlampung.com/ halaman Opini

Ke Mana BPD Harus Melangkah?

Oleh Sunarsip
Ketika dahulu pemerintah daerah (pemda) mendirikan Bank Pembangunan Daerah (BPD), motif utamanya adalah agar BPD dapat mendorong pembangunan di daerah. Sayang, kini kontribusinya justru dipertanyakan. BPD, misalnya, kini disorot terkait loan to deposit ratio (LDR-nya) yang rendah dan tingginya penempatan dana BPD dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Padahal, sebagian besar dana BPD dari pemda dan dana pemda dari APBN yang semestinya digunakan untuk kegiatan pembangunan di daerah.
BPD juga dihadapkan pada persaingan dengan bank-bank umum nasional dan asing yang hampir dapat dikatakan memiliki segalanya; jaringan teknologi yang kuat, SDM berkualitas, dan permodalan yang kuat. Selain persaingan, regulasi Bank Indonesia (BI) menuntut BPD untuk bersiap diri menghadapi implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada 2010. Dengan berbagai permasalahan ini, lalu ke mana BPD harus diarahkan? Apakah tetap status quo seperti saat ini?
Saya berpendapat, pemilik harus secepatnya merevitalisasi BPD tersebut. Tanpa secepatnya direvitalisasi, peran BPD-BPD tersebut akan semakin tergerus dan harapan menjadikannya sebagai instrumen pembangunan di daerah akan semakin terkikis.
Bagaimana caranya? Saya mengusulkan agar pemda

Selengkapnya Click>>http://rakyatlampung.com/